MENGENAL TAFSĪR AL-QUR’AN AL-ḤAKĪM “TAFSIR AL-MANĀR”
Oleh: Hikmatin Hamidah
I.
PENDAHULUAN
Sumber hukum pertama adalah al-Qur’an, oleh
karena itu al-Qur’an selalu dijadikan sebagai pedoman dalam setiap aspek
kehidupan. Al-Qur’an bersifat relevan sepanjang masa. Adapun relevansi kitab
ini terlihat pada beberapa petunjuk yang diperuntukkan oleh umat Islam dari
berbagai aspek, terutama dalam aspek kehidupan. Ini lah sebabnya al-Qur’an
harus difahami betul-betul oleh umat Islam. Oleh karena itu al-Qur’an perlu
untuk ditafsiri, adapun penafsiran ini bertujuan agar ayat-ayat al-Qur’an dapat
dijelaskan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kehendak Allah Subḥānahu wa
Ta’ālā.
Penafsiran al-Qur’an dari masa-kemasa masa selalu
menunjukkan sesuatu perkembagan yan signifikan, sejak al-Qur’an diturunkan
hingga sekarang. Adapun setiap masa mengalami perubahan dan perbedaan ketika
menafsirkan al-Qur’an, baik itu dari segi metode maupun bentuk ketika
menafsirkannya. Sehingga tiap-tiap masa memiliki karakteristik masing-masing,
untuk membedakan produk tafsir satu dengan yang lainnya. Antara tafsir di era
klasik dan modern memiliki ciri khas masing-masing dalam menafsirkan al-Qur’an.
Adapun tafsir yang muncul di era modern salah satunya adalah tafir al-Manar.
Kitab tafsir ini merupakan hasil karya tokoh
revosioner Mesir yaitu Muhammad Abduh, sang murid yang bernama Rasyid Ridha. Ketika
menafsirkan al-Qur’an Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha cenderung berbeda daam
menfsirkan al-Qur’an, beliau lebih mengutamakan aspek rasionalitas dan peranan
sosial. Selain itu tafsir ini merupakan bibit dari tafsir modern, dan dijadikan
rujukan oleh kitab-kitab tafsir sesudahnya. Oleh karena itu dirasa perlu
pembahasan yang terkait mengenai tafsir al-Manar.
II.
PEMBAHASAN
A. Pengenalan Kitab
Kitab
Tafsīr al-Qur’an al-Adzim karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha ini,
lebih dengan nama tafsir al-Manar. Kitab ini termasuk salah satu kitab
tafsir bi al-ra’yi pada abad modern. Kitab tafsir ini terdiri dari 12
jilid, mulai dari surat al-Fatihah sampai surat Yusuf ayat ke-52. Tafsir
al-Manar ini, bermula dari sebuah pengajian tafsir di masjid
al-Azhar sejak awal Muharram pada tahun
1317 Hijriyah. Meskipun penafsiran ayat-ayat tersebut tidak ditulis langsung
oleh Muhammad Abduh, namun penafsiran ini masih dapat dikatakan sebagai
karyanya, dikarenakan penafsiran tersebut ditulis langsung oleh seorang
muridnya yaitu Rasyid Ridha, dan sebelum artikel-artikel tersebut
disebarluaskan di majalah al-Manar, terlebih dahulu Rasyid Ridha
menunjukkannya kepada Muhamad Abduh untuk diteliti ulang, sehingga terkadang
ada penambahan serta pengurangan baik satu kata maupun beberapa kata. Adapun Tafsīr
al-Manār ketika menafsirkan al-Qur’an cendenrung untuk menafsirkan
al-Qur’an secara adaby ijtima’i atau secara sosial kemasyarakatan, yaitu
dengan mengkaitkan penafsiran al-Qur’an dengan upaya untuk memeperbaiki kondisi
serta untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat. Menurut
Muhammad Abduh bahwasanya al-Qur’an memberikan resep untuk kebahagiaan manusia
baik di dunia maupun di akhirat.
Tafsīr
al-Manār pertama kali terbit pada tanggal 22 Syawal 1315 Hijriyah yang
bertepatan pada tanggal 17 Maret 1898 Masehi. Terbitnya tafsir al-Manār
ini dilatar belakangi oleh keinginan Rasyid Ridha untuk menerbitkan sebuah
surat kabar yang mengolah masalah-masalah sosial budaya serta agama, satu bulan
pasca bertemunya Rasyid Ridha dengan Muhammad Abduh, awalnya hanya diterbitkan
berupa mingguan sebanyak delapan halaman, ternyata penerbitan surat kabar
tersebut disambut hangat oleh masyarakat Mesir, Arab, serta Eropa, kemudian
tafsir ini diterbitkan secara komplit oleh Penerbit Dār al-Manār Kairo.[1]
A. Biografi Syaikh Muhammad Abduh (1266-1323 H/ 1849/1905 M)
Muhammad Abduh meliki nama lengkap Muhammad
bin abduh bin Ḥasan Khoirullah. Beliau dilahirkan disebuah desa yang bernama Mahallat
Nasr, al-Bukhairah Mesir pada tahun 1849M dan wafat di Kairo pada tahun 1905 M.[2]
Beliau tidak berasal dari keluarga yang tergolong kaya, serta bukan dari
keluarga seorang bangsawan, namun ayahnya adalah sosok yang sangat digemari
oleh masyarakat di desa tersebut. Muhammad Abduh hidup di lingkungan keluarga
petani, semua saudarannya mendapatkan tugas untuk membantu ayahnya di bidang
pertanian, namun hanya Muhammad Abduh yang tidak mendapatkan tugas dari ayahnya
untuk bergelut dibidang pertanian, justru beliau mendapatkan tugas dari ayahnya
untuk mencari ilmu pengetahuan. Pada
usia 12 tahun Muhammad Abduh telah hafal al-Qur’an.
Muhammad Abduh mengawali pendidikannya di
masjid al-ahmadi di daerah Thanta, kira-kira 80 Km dari Kairo. Pada tahun 1865,
beliau menikah dan sempat bekerja menjadi petani selama 40 hari, kemudian
beliau pergi ke Tanta untuk kembali belajar. Paman beliau yang bernama Syaikh Darwisy
Khidr adalah penganut tarekat asy-Syadziliyah, mampu membangkitkan semangat
belajar serta antusiasme Abduh terhadap ilmu dan agama, ketika tahun 1866
beliau memutuskan untuk pergi ke Kairo utuk menuntut ilmu di universitas al-Azhar.[3]
Setelah tamat dari al-Azhar pada tahun 1877, Muhammad
Abduh memulai karirnya, dengan mengajar di universitas Dar al-Ulum dalam bidang
sejarah. Selain itu beliau juga mengajar logika, teologi dan filsafat di al-Azhar.
Abduh menekankan kepada murid-muridnya agar berfikir kritis dan rasional serta
tidak harus terikat dengan suatu pendapat. Selain mengajar beliau juga menekuni
di bidang jurnalistik. Perjalanan hidup Muhammad Abduh mengarahkan pandangannya
ke beberapa persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Abduh menyeru kepada
umat Islam agar kembali dasar ajaran Islam dan membuka lebar-lebar pintu
ijtihad. Beberapa karya tulis Abduh , sebagian besar berupa artikel-artikel di
surat kabar serta majalah. Beberapa karya yang telah dihasilkan oleh Muhammad Abduh
adalah:
a)
Risalah al-Tauhīd
b)
Tafsīr al-Qur’an al-Karim Juz ‘Amma
c)
Tafsīr surat wa al-‘asr
d)
Hasyiyah ‘ala Syarh ad-Dawani li al-Aqa’id al-Adudiyah
B.
Rasyid Ridha (1282-1354 H/ 1865-1935 M)
Rasyid Ridha merupakan murid dari Muhammad
Abduh, Rasyid Ridha termasuk salah satu murid yang dekat dengan beliau. Rasyid
Ridha lahir pada tahun 1865 M. Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan ditengah-tengah
masyarakat yang akrab dengan gerakan-gerakan tarekat. Namun kondisi masyarakat
semacam ini membuatnya turut menyesuaikan diri, dimana ia sempat menjadi salah
satu anggota dari tarekat naqsabandiyah. Selain itu beliau memiliki nama
lengkap Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Muhammad Syamsuddin. Beliau lahir di al-Qalamun,
yaitu sebuah desa yang di Lebanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Syuria),
menurut sebuah keterangan bahwasanya Rasyid Ridha adalah keturunan dari
al-Husain (cucu Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam) [4].
Ketika kecil beliau belajar menulis, berhitung serta membaca al-Qur’an di
sebuah sekolah di desa Qalamun. Selain belajar membaca dan menulis kemudian
beliau meneruskan pendidikannya di Madrasah al-Wathaniyyah al-Islamiyah di
Tripoli, yang didirikan oleh Syaikh Husein al-Jisr. Beliau adalah salah seorang
ulama’ yang pemikiran agamannya telah dipengaruhi oleh ide-ide modern.[5] Rasyid
Ridha mengalami kecelakaan ketika perjalanan pulang setelah mengantarkan pangeran
Su’ud al-faisal, dan akhirnya beliau menderita gagar otak, kemudian wafat pada
tanggal 22 Agustus 1935 M. [6]
C.
Sistematika Penulisan Kitab Tafsīr al-Manār
Kitab Tafsī al-Qur’an al-Ḥakīm atau yang biasa disebut dengan tafsir al-Manār,
sistematika penulisan yang diterapkan dalam kitab tafsir ini adalah secara
susunan mushafi, yaitu dalam penfsirannya dimulai al-fatihah
hingga al-nās. Namun, kitab tafsir al-Manar ini hanya menafsirkan mulai
dari surat al-Fātihah hingga surat Yusūf ayat 52. Ketika
menafsirkan al-Qur’an Abduh cenderung untuk mengkombinasikan antara riwayat
yang shahih dengan nalar rasional, serta mengemukakan asbabun nuzul ayat serta
keutamaannya, dengan hal tersebut diharapkan bisa menjelaskan hikmah-hikmah yang
terkandung didalam al-Qur’an, serta eksistensi al-Qur’an sebagai kitab petunjuk
bagi manusia. Selain itu ketika menafsirkan suatu ayat Muhammad Abduh cenderung
bercorak adabi ijtima’i yaitu tafsir yang menitikberatkan penjelasan
pada ayat ayat al-Qur’an pada segi ketelitian redaksi al-Qur’an. kemudian
menyusun kandungan redaksi tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan
menonjolkan tujuan dari diturunkannya al-Qur’an sebagai petunjuk dalam kehidupan,
lalu menggabungkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang
berlaku dalam masyarakat.[7]
D.
Metode Penafsiran Dalam kitāb Tafsīr al-Manār
Metode yang digunakan dalam penulisan kitab
Tafsīr al-Manār adalah metode tahlili atau yang sering dikenal dengan
metode analisis. Hal tersebut dapat dilihat dari penafsiran suatu ayat dengan menjelaskan
makna yang terkandung dalam ayat tersebut. Dalam memahami dan menjelaskan suatu
ayat, beliau menggunakan kerasionalitasannya dan memperhatikan beberapa kitab
tafsir terdahulu untuk dijadikan sebagai bahan rujukan dalam menafsirkan suatu
ayat.
Meskipun tafsir ini menggunakan metode tahlili
sebagaimana yang telah ada pada penafsiran-penafsiran sebelumnya, namun dalam
kitab tafsir ini ada beberapa penekanan yang menjadikan kitab tafsir ini
berbeda dengan kitab-kitab tafsir sebelumnya. adapun kitab-kitab tafsir dahulu hanya
menitikberatkan pada pemaknaan terhadap makna linguistik ang terdapat pada
ayat. Namun, dalam penafsiran al-Manār tidak lagi hanya memfokuskan pada
pemaknaan secara linguistik saja, namun juga melihat keterkaitan makna ayat
dengan aspek persoalan yang muncul di zaman sekarang. Sehingga al-Qur’an tidak
hanya dianggai sebagai kitab suci yang memiliki sastra tinggi, namun juga
berfungsi sebagai petunjuk dalam kehidupan. Sehingga hal inilah yang menjadi
titik perbedaan, dan menjadikan kitab tafsir al-Manār sebagai bibit tafsir
modern. Adapun beberapa prinsip yang digunakan dalam tafsir al-Manār adalah[8]:
1. Menganggap bahwa setiap surat-surat al-Qur’an adalah satu kesatuan yang
serasi.
2. Al-Qur’an merupakan sumber pertama dan utama dari kaidah dan syari’at Islam,
adapun mengenai pendapat para ulama’ tidak mutlak harus diikuti.
3. Pemberantasan taqlid serta membuka pintu ijtihad seluas-luasnya, bagi yang
telah memenuhi persyaratan yang dituntut dalam berijtihad.
4. Bertompang pada kemampuan akal serta menjadikannya sebagai penentu dalam
memahami ayat-ayat al-Qur’an.
5. Mendorong penelitian dan penalaran serta menerapkan metode ilmiah dari
hasil penemuan ilmu pengetahuan yang ada pada masanya untuk menafsirkan
al-Qur’an.
6. Mengurangi penggunaan atsar dalam sebuah penafsirannya, dikarenakan
penggunaan riwayat secara berlebihan dalam menafsirkan al-Qur’an dapat menjadi
dinding penghalang dari petunjuk al-Quran serta menyulitkan para pembacanya
untuk menangkap tujuan-tuhuan mulia al-Qur’an.
7. Berhati-hati terhadap cerita-cerita Isrāiliyyāt.
Adapun dalam penafsirannya kitab tafsir al-Manār mengambil beberapa
referensi dari beberapa kitab terdahulu seperti Tafsīr al-Kasyaf, Tafsīr
al-Thabari, Tafsīr Ibnu Katsir, asbab al-Nuzul karya al-Wahidi, I’jaz
al-Qur’an, al-Burhan fī Ulum al-Qur’an.
E. Contoh Penafsiran Dalam Tafsīr al-Manār
Dari penjabaran mengenai tafsīr al-Manār diatas, diatas untuk lebih
jelasnya bisa melihat salah satu contoh penafsiran dalam kitab tafsīr
al-Manār, adalah surat al-Baqarah 183:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Pada penafsiran ayat tersebut, Muhammad Abduh
mengambil beberapa titik penting dari lafadz yang ada di ayat tersebut. Abduh
menjelaskan tentang “kaum terdahulu” dengan menjelaskan semua pengetahuan yag
dimiikinya, yakni mulai dari menjelaskan kebiasaan puasa yang sudah ada sejak
zaman dahulu. Selain itu Abduh juga menjelaskan mengenai hikmah yang terkandung
dalam perintah puasa, sehingga dapat diketahui alvsan mengapa diperintahkan
untuk berpuasa, bukan hanya bertaqlid pada ucapan ulama’ terdahulu. Selain itu
beliau jugan menjelaskan mengenai keterkaitan antara orang yang berpuasa dengan
ketakwaan dalam lafadz “tattaqun”, bagi orang yang berpuasa dengan
mengkaitkan kerasionalitasannya dengan cara menghubungkannya pada perilaku
sehari-hari. Sehingga puasa bukan lagi
difahami sebagai bentuk formalitas bagi umat Islam, namun sebagai ibadah yang sangat
berarti, khususnya sebagai benteng dalam melakukan hal-hal yang dilarang.
Sehingga bisa dipastikan disini bahwa Abduh tidak ingin umat Islam melakukan puasa
dengan hanya bertaqlid saja (berpuasa dengan tidak mengetahui dan memahami rahasia
serta hikmah disyari’atkannya puasa serta tidak mengetahui kegunaan puasa bagi
kemaslahatan hidup manusia. [9]
F. Kelebihan Dan Kekurangan Dalam Kitab Tafsīr Al-Manār
Sebuah karya manusia tak bisa luput dari sebuah
kekurangan, karena tak ada yang sempurna di dunia. Begitupun dengan kitab tafsīr al-Manār ini tak luput dari sisi keistimewaan dan kekurangan. Berikut adalah
beberapa keistimewaan dari kitab tafsīr al-Manār ini:
a) Ketika menafsirkan sebuah ayat sesuai dengan pemahaman akal secara luas.
b) Memudahkan bagi orang awam untuk memahami makna-makna yang terkandung dalam
al-Qur’an.
c) Dalam menafsirkan ayat sering kali dikaitkan dengan teori ilmiyah sehingga mudah
difahami oleh orang-orang awam.
d) Penafsirannya sesuai dengan kehidupan masa kini.
Adapun beberapa kekurangan yang ditemukan dalam
kitab tafsīr al-Manār ini, bahwasanya ketika menafsirkan al-Qur’an Rasyid Ridha
terlalu memeerluas jangkauan penafsiran ilmiyah, sehingga terkadang dirasakan adanya
usaha untuk membenar-benarkan suatu teori ilmiyah sekalipun belum mapan dengan ayat
al-Qur’an.
III. KESIMPULAN
Tafsīr
al-Qur’an al-Adzim karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha ini, lebih dengan nama tafsir al-Manar.
Kitab ini termasuk salah satu kitab tafsir bi al-ra’yi pada abad modern.
Kitab tafsir ini terdiri dari 12 jilid, mulai dari surat al-Fatihah
sampai surat Yusuf ayat ke-52. Tafsir al-Manar ini, bermula dari sebuah
pengajian tafsir di masjid al-Azhar. sistematika penulisan yang diterapkan
dalam kitab tafsir ini adalah secara susunan mushafi, yaitu dalam
penfsirannya dimulai al-fatihah hingga al-nās. Namun, kitab
tafsir al-Manar ini hanya menafsirkan mulai dari surat al-Fātihah hingga
surat Yusūf ayat 52.
Metode yang digunakan dalam penulisan kitab
Tafsīr al-Manār adalah metode tahlili atau yang sering dikenal dengan
metode analisis. Hal tersebut dapat dilihat dari penafsiran suatu ayat dengan
menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat tersebut. Dalam memahami dan
menjelaskan suatu ayat, beliau menggunakan kerasionalitasannya dan
memperhatikan beberapa kitab tafsir terdahulu untuk dijadikan sebagai bahan
rujukan dalam menafsirkan suatu ayat.
Meskipun tafsir ini menggunakan metode tahlili
sebagaimana yang telah ada pada penafsiran-penafsiran sebelumnya, namun dalam
kitab tafsir ini ada beberapa penekanan yang menjadikan kitab tafsir ini
berbeda dengan kitab-kitab tafsir sebelumnya. adapun kitab-kitab tafsir dahulu
hanya menitikberatkan pada pemaknaan terhadap makna linguistik ang terdapat
pada ayat. Namun, dalam penafsiran al-Manār tidak lagi hanya memfokuskan
pada pemaknaan secara linguistik saja, namun juga melihat keterkaitan makna
ayat dengan aspek persoalan yang muncul di zaman sekarang.
Daftar Pustaka
Ghofur, Saiful Amin. Mozaik Mufassir
al-Qur’an dari Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta:Kaukaba, 2013.
Nawawi, Rif’at Syauqi. Rasionalitas Tafsir
Muhammad Abduh Kajian Akidah Dan Ibadat. Jakarta:Paramadina, 2002.
Ridha, Rasyid. Tafsīr al-Manār. Beirut:Dār al-Fikr, tth.
Ṣhalih, Abdul Qādir Muhammad. Al-Tafsīr Wa
Al-Mufassirūn Fī Al-‘Asr Al-Ḥadith. Beirut:Dār al-Ma’rifah,2003.
Saifullah, Nuansa Inklusif Dalam Tafsīr
Al-Manār. Jakarta:Kementrian Agama, 2012.
Shihab, Quraish. Studi Kritis Tafsir
al-Manār. Bandung:Pustaka Hidayah, 1994.
[1]Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufassir al-Qur’an dari Klasik Hingga
Kontemporer, (Yogyakarta:Kaukaba, 2013), 125
[2]Abdul Qādir Muhammad Ṣhalih, Al-Tafsīr Wa Al-Mufassirūn Fī Al-‘Asr Al-Ḥadith,
(Beirut:Dār al-Ma’rifah,2003), 302.
[3] Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufassir Al-Qur’an Dari Klasik Hinga
Kontemporer, (Yogyakarta:Kaukaba, 2013), 121.
[4] Abdul Qādir Muhammad Ṣhalih, Al-Tafsīr Wa Al-Mufassirūn Fī Al-‘Asr Al-Ḥadith,
(Beirut:Dār al-Ma’rifah,2003), 303.
[5] Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufassir Al-Qur’an Dari Klasik Hinga
Kontemporer, (Yogyakarta:Kaukaba, 2013), 126.
[7]Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian Akidah Dan
Ibadat, (Jakarta:Paramadina, 2002), 109.