Minggu, 28 Februari 2016

Mengenal kitab tafsir al-Manar Karya Rasyid Ridha dan Muhammad abduh



MENGENAL TAFSĪR AL-QUR’AN AL-ḤAKĪM “TAFSIR AL-MANĀR”
Oleh: Hikmatin Hamidah

I.             PENDAHULUAN
Sumber hukum pertama adalah al-Qur’an, oleh karena itu al-Qur’an selalu dijadikan sebagai pedoman dalam setiap aspek kehidupan. Al-Qur’an bersifat relevan sepanjang masa. Adapun relevansi kitab ini terlihat pada beberapa petunjuk yang diperuntukkan oleh umat Islam dari berbagai aspek, terutama dalam aspek kehidupan. Ini lah sebabnya al-Qur’an harus difahami betul-betul oleh umat Islam. Oleh karena itu al-Qur’an perlu untuk ditafsiri, adapun penafsiran ini bertujuan agar ayat-ayat al-Qur’an dapat dijelaskan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kehendak Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.
Penafsiran al-Qur’an dari masa-kemasa masa selalu menunjukkan sesuatu perkembagan yan signifikan, sejak al-Qur’an diturunkan hingga sekarang. Adapun setiap masa mengalami perubahan dan perbedaan ketika menafsirkan al-Qur’an, baik itu dari segi metode maupun bentuk ketika menafsirkannya. Sehingga tiap-tiap masa memiliki karakteristik masing-masing, untuk membedakan produk tafsir satu dengan yang lainnya. Antara tafsir di era klasik dan modern memiliki ciri khas masing-masing dalam menafsirkan al-Qur’an. Adapun tafsir yang muncul di era modern salah satunya adalah tafir al-Manar.
Kitab tafsir ini merupakan hasil karya tokoh revosioner Mesir yaitu Muhammad Abduh, sang murid yang bernama Rasyid Ridha. Ketika menafsirkan al-Qur’an Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha cenderung berbeda daam menfsirkan al-Qur’an, beliau lebih mengutamakan aspek rasionalitas dan peranan sosial. Selain itu tafsir ini merupakan bibit dari tafsir modern, dan dijadikan rujukan oleh kitab-kitab tafsir sesudahnya. Oleh karena itu dirasa perlu pembahasan yang terkait mengenai tafsir al-Manar.



II.          PEMBAHASAN
A.    Pengenalan Kitab
            Kitab Tafsīr al-Qur’an al-Adzim karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha ini, lebih dengan nama tafsir al-Manar. Kitab ini termasuk salah satu kitab tafsir bi al-ra’yi pada abad modern. Kitab tafsir ini terdiri dari 12 jilid, mulai dari surat al-Fatihah sampai surat Yusuf ayat ke-52. Tafsir al-Manar ini, bermula dari sebuah pengajian tafsir di masjid al-Azhar  sejak awal Muharram pada tahun 1317 Hijriyah. Meskipun penafsiran ayat-ayat tersebut tidak ditulis langsung oleh Muhammad Abduh, namun penafsiran ini masih dapat dikatakan sebagai karyanya, dikarenakan penafsiran tersebut ditulis langsung oleh seorang muridnya yaitu Rasyid Ridha, dan sebelum artikel-artikel tersebut disebarluaskan di majalah al-Manar, terlebih dahulu Rasyid Ridha menunjukkannya kepada Muhamad Abduh untuk diteliti ulang, sehingga terkadang ada penambahan serta pengurangan baik satu kata maupun beberapa kata. Adapun Tafsīr al-Manār ketika menafsirkan al-Qur’an cendenrung untuk menafsirkan al-Qur’an secara adaby ijtima’i atau secara sosial kemasyarakatan, yaitu dengan mengkaitkan penafsiran al-Qur’an dengan upaya untuk memeperbaiki kondisi serta untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat. Menurut Muhammad Abduh bahwasanya al-Qur’an memberikan resep untuk kebahagiaan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
            Tafsīr al-Manār pertama kali terbit pada tanggal 22 Syawal 1315 Hijriyah yang bertepatan pada tanggal 17 Maret 1898 Masehi. Terbitnya tafsir al-Manār ini dilatar belakangi oleh keinginan Rasyid Ridha untuk menerbitkan sebuah surat kabar yang mengolah masalah-masalah sosial budaya serta agama, satu bulan pasca bertemunya Rasyid Ridha dengan Muhammad Abduh, awalnya hanya diterbitkan berupa mingguan sebanyak delapan halaman, ternyata penerbitan surat kabar tersebut disambut hangat oleh masyarakat Mesir, Arab, serta Eropa, kemudian tafsir ini diterbitkan secara komplit oleh Penerbit Dār al-Manār Kairo.[1]

A.    Biografi Syaikh Muhammad Abduh (1266-1323 H/ 1849/1905 M)
Muhammad Abduh meliki nama lengkap Muhammad bin abduh bin Ḥasan Khoirullah. Beliau dilahirkan disebuah desa yang bernama Mahallat Nasr, al-Bukhairah Mesir pada tahun 1849M dan wafat di Kairo pada tahun 1905 M.[2] Beliau tidak berasal dari keluarga yang tergolong kaya, serta bukan dari keluarga seorang bangsawan, namun ayahnya adalah sosok yang sangat digemari oleh masyarakat di desa tersebut. Muhammad Abduh hidup di lingkungan keluarga petani, semua saudarannya mendapatkan tugas untuk membantu ayahnya di bidang pertanian, namun hanya Muhammad Abduh yang tidak mendapatkan tugas dari ayahnya untuk bergelut dibidang pertanian, justru beliau mendapatkan tugas dari ayahnya untuk mencari ilmu pengetahuan.  Pada usia 12 tahun Muhammad Abduh telah hafal al-Qur’an.
Muhammad Abduh mengawali pendidikannya di masjid al-ahmadi di daerah Thanta, kira-kira 80 Km dari Kairo. Pada tahun 1865, beliau menikah dan sempat bekerja menjadi petani selama 40 hari, kemudian beliau pergi ke Tanta untuk kembali belajar. Paman beliau yang bernama Syaikh Darwisy Khidr adalah penganut tarekat asy-Syadziliyah, mampu membangkitkan semangat belajar serta antusiasme Abduh terhadap ilmu dan agama, ketika tahun 1866 beliau memutuskan untuk pergi ke Kairo utuk menuntut ilmu di universitas al-Azhar.[3]
Setelah tamat dari al-Azhar pada tahun 1877, Muhammad Abduh memulai karirnya, dengan mengajar di universitas Dar al-Ulum dalam bidang sejarah. Selain itu beliau juga mengajar logika, teologi dan filsafat di al-Azhar. Abduh menekankan kepada murid-muridnya agar berfikir kritis dan rasional serta tidak harus terikat dengan suatu pendapat. Selain mengajar beliau juga menekuni di bidang jurnalistik. Perjalanan hidup Muhammad Abduh mengarahkan pandangannya ke beberapa persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Abduh menyeru kepada umat Islam agar kembali dasar ajaran Islam dan membuka lebar-lebar pintu ijtihad. Beberapa karya tulis Abduh , sebagian besar berupa artikel-artikel di surat kabar serta majalah. Beberapa karya yang telah dihasilkan oleh Muhammad Abduh adalah:
a)      Risalah al-Tauhīd
b)      Tafsīr al-Qur’an al-Karim Juz ‘Amma
c)      Tafsīr surat wa al-‘asr
d)      Hasyiyah ‘ala Syarh ad-Dawani li al-Aqa’id al-Adudiyah
B.           Rasyid Ridha (1282-1354 H/ 1865-1935 M)
Rasyid Ridha merupakan murid dari Muhammad Abduh, Rasyid Ridha termasuk salah satu murid yang dekat dengan beliau. Rasyid Ridha lahir pada tahun 1865 M. Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan ditengah-tengah masyarakat yang akrab dengan gerakan-gerakan tarekat. Namun kondisi masyarakat semacam ini membuatnya turut menyesuaikan diri, dimana ia sempat menjadi salah satu anggota dari tarekat naqsabandiyah. Selain itu beliau memiliki nama lengkap Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Muhammad Syamsuddin. Beliau lahir di al-Qalamun, yaitu sebuah desa yang di Lebanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Syuria), menurut sebuah keterangan bahwasanya Rasyid Ridha adalah keturunan dari al-Husain (cucu Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam) [4]. Ketika kecil beliau belajar menulis, berhitung serta membaca al-Qur’an di sebuah sekolah di desa Qalamun. Selain belajar membaca dan menulis kemudian beliau meneruskan pendidikannya di Madrasah al-Wathaniyyah al-Islamiyah di Tripoli, yang didirikan oleh Syaikh Husein al-Jisr. Beliau adalah salah seorang ulama’ yang pemikiran agamannya telah dipengaruhi oleh ide-ide modern.[5] Rasyid Ridha mengalami kecelakaan ketika perjalanan pulang setelah mengantarkan pangeran Su’ud al-faisal, dan akhirnya beliau menderita gagar otak, kemudian wafat pada tanggal 22 Agustus 1935 M. [6]


C.          Sistematika Penulisan Kitab Tafsīr al-Manār
Kitab Tafsī al-Qur’an al-akīm atau yang biasa disebut dengan tafsir al-Manār, sistematika penulisan yang diterapkan dalam kitab tafsir ini adalah secara susunan mushafi, yaitu dalam penfsirannya dimulai al-fatihah hingga al-nās. Namun, kitab tafsir al-Manar ini hanya menafsirkan mulai dari surat al-Fātihah hingga surat Yusūf ayat 52. Ketika menafsirkan al-Qur’an Abduh cenderung untuk mengkombinasikan antara riwayat yang shahih dengan nalar rasional, serta mengemukakan asbabun nuzul ayat serta keutamaannya, dengan hal tersebut diharapkan bisa menjelaskan hikmah-hikmah yang terkandung didalam al-Qur’an, serta eksistensi al-Qur’an sebagai kitab petunjuk bagi manusia. Selain itu ketika menafsirkan suatu ayat Muhammad Abduh cenderung bercorak adabi ijtima’i yaitu tafsir yang menitikberatkan penjelasan pada ayat ayat al-Qur’an pada segi ketelitian redaksi al-Qur’an. kemudian menyusun kandungan redaksi tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan tujuan dari diturunkannya al-Qur’an sebagai petunjuk dalam kehidupan, lalu menggabungkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat.[7]  
D.          Metode Penafsiran Dalam kitāb Tafsīr al-Manār
Metode yang digunakan dalam penulisan kitab Tafsīr al-Manār adalah metode tahlili atau yang sering dikenal dengan metode analisis. Hal tersebut dapat dilihat dari penafsiran suatu ayat dengan menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat tersebut. Dalam memahami dan menjelaskan suatu ayat, beliau menggunakan kerasionalitasannya dan memperhatikan beberapa kitab tafsir terdahulu untuk dijadikan sebagai bahan rujukan dalam menafsirkan suatu ayat.
Meskipun tafsir ini menggunakan metode tahlili sebagaimana yang telah ada pada penafsiran-penafsiran sebelumnya, namun dalam kitab tafsir ini ada beberapa penekanan yang menjadikan kitab tafsir ini berbeda dengan kitab-kitab tafsir sebelumnya. adapun kitab-kitab tafsir dahulu hanya menitikberatkan pada pemaknaan terhadap makna linguistik ang terdapat pada ayat. Namun, dalam penafsiran al-Manār tidak lagi hanya memfokuskan pada pemaknaan secara linguistik saja, namun juga melihat keterkaitan makna ayat dengan aspek persoalan yang muncul di zaman sekarang. Sehingga al-Qur’an tidak hanya dianggai sebagai kitab suci yang memiliki sastra tinggi, namun juga berfungsi sebagai petunjuk dalam kehidupan. Sehingga hal inilah yang menjadi titik perbedaan, dan menjadikan kitab tafsir al-Manār sebagai bibit tafsir modern. Adapun beberapa prinsip yang digunakan dalam tafsir al-Manār adalah[8]:
1.      Menganggap bahwa setiap surat-surat al-Qur’an adalah satu kesatuan yang serasi.
2.      Al-Qur’an merupakan sumber pertama dan utama dari kaidah dan syari’at Islam, adapun mengenai pendapat para ulama’ tidak mutlak harus diikuti.
3.      Pemberantasan taqlid serta membuka pintu ijtihad seluas-luasnya, bagi yang telah memenuhi persyaratan yang dituntut dalam berijtihad.
4.      Bertompang pada kemampuan akal serta menjadikannya sebagai penentu dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.
5.      Mendorong penelitian dan penalaran serta menerapkan metode ilmiah dari hasil penemuan ilmu pengetahuan yang ada pada masanya untuk menafsirkan al-Qur’an.
6.      Mengurangi penggunaan atsar dalam sebuah penafsirannya, dikarenakan penggunaan riwayat secara berlebihan dalam menafsirkan al-Qur’an dapat menjadi dinding penghalang dari petunjuk al-Quran serta menyulitkan para pembacanya untuk menangkap tujuan-tuhuan mulia al-Qur’an.
7.      Berhati-hati terhadap cerita-cerita Isrāiliyyāt.
Adapun dalam penafsirannya kitab tafsir al-Manār mengambil beberapa referensi dari beberapa kitab terdahulu seperti Tafsīr al-Kasyaf, Tafsīr al-Thabari, Tafsīr Ibnu Katsir, asbab al-Nuzul karya al-Wahidi, I’jaz al-Qur’an, al-Burhan fī Ulum al-Qur’an.  
E.     Contoh Penafsiran Dalam Tafsīr al-Manār
Dari penjabaran mengenai tafsīr al-Manār diatas, diatas untuk lebih jelasnya bisa melihat salah satu contoh penafsiran dalam kitab tafsīr al-Manār, adalah surat al-Baqarah 183:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Pada penafsiran ayat tersebut, Muhammad Abduh mengambil beberapa titik penting dari lafadz yang ada di ayat tersebut. Abduh menjelaskan tentang “kaum terdahulu” dengan menjelaskan semua pengetahuan yag dimiikinya, yakni mulai dari menjelaskan kebiasaan puasa yang sudah ada sejak zaman dahulu. Selain itu Abduh juga menjelaskan mengenai hikmah yang terkandung dalam perintah puasa, sehingga dapat diketahui alvsan mengapa diperintahkan untuk berpuasa, bukan hanya bertaqlid pada ucapan ulama’ terdahulu. Selain itu beliau jugan menjelaskan mengenai keterkaitan antara orang yang berpuasa dengan ketakwaan dalam lafadz “tattaqun”, bagi orang yang berpuasa dengan mengkaitkan kerasionalitasannya dengan cara menghubungkannya pada perilaku sehari-hari.  Sehingga puasa bukan lagi difahami sebagai bentuk formalitas bagi umat Islam, namun sebagai ibadah yang sangat berarti, khususnya sebagai benteng dalam melakukan hal-hal yang dilarang. Sehingga bisa dipastikan disini bahwa Abduh tidak ingin umat Islam melakukan puasa dengan hanya bertaqlid saja (berpuasa dengan tidak mengetahui dan memahami rahasia serta hikmah disyari’atkannya puasa serta tidak mengetahui kegunaan puasa bagi kemaslahatan hidup manusia. [9]
F.     Kelebihan Dan Kekurangan Dalam Kitab Tafsīr Al-Manār
Sebuah karya manusia tak bisa luput dari sebuah kekurangan, karena tak ada yang sempurna di dunia. Begitupun dengan kitab tafsīr al-Manār ini tak luput dari sisi keistimewaan dan kekurangan. Berikut adalah beberapa keistimewaan dari kitab tafsīr al-Manār ini:
a)      Ketika menafsirkan sebuah ayat sesuai dengan pemahaman akal secara luas.
b)      Memudahkan bagi orang awam untuk memahami makna-makna yang terkandung dalam al-Qur’an.
c)      Dalam menafsirkan ayat sering kali dikaitkan dengan teori ilmiyah sehingga mudah difahami oleh orang-orang awam.
d)     Penafsirannya sesuai dengan kehidupan masa kini.
Adapun beberapa kekurangan yang ditemukan dalam kitab tafsīr al-Manār ini, bahwasanya ketika menafsirkan al-Qur’an Rasyid Ridha terlalu memeerluas jangkauan penafsiran ilmiyah, sehingga terkadang dirasakan adanya usaha untuk membenar-benarkan suatu teori ilmiyah sekalipun belum mapan dengan ayat al-Qur’an.  
III.       KESIMPULAN
Tafsīr al-Qur’an al-Adzim karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha ini, lebih dengan nama tafsir al-Manar. Kitab ini termasuk salah satu kitab tafsir bi al-ra’yi pada abad modern. Kitab tafsir ini terdiri dari 12 jilid, mulai dari surat al-Fatihah sampai surat Yusuf ayat ke-52. Tafsir al-Manar ini, bermula dari sebuah pengajian tafsir di masjid al-Azhar. sistematika penulisan yang diterapkan dalam kitab tafsir ini adalah secara susunan mushafi, yaitu dalam penfsirannya dimulai al-fatihah hingga al-nās. Namun, kitab tafsir al-Manar ini hanya menafsirkan mulai dari surat al-Fātihah hingga surat Yusūf ayat 52.
Metode yang digunakan dalam penulisan kitab Tafsīr al-Manār adalah metode tahlili atau yang sering dikenal dengan metode analisis. Hal tersebut dapat dilihat dari penafsiran suatu ayat dengan menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat tersebut. Dalam memahami dan menjelaskan suatu ayat, beliau menggunakan kerasionalitasannya dan memperhatikan beberapa kitab tafsir terdahulu untuk dijadikan sebagai bahan rujukan dalam menafsirkan suatu ayat.
Meskipun tafsir ini menggunakan metode tahlili sebagaimana yang telah ada pada penafsiran-penafsiran sebelumnya, namun dalam kitab tafsir ini ada beberapa penekanan yang menjadikan kitab tafsir ini berbeda dengan kitab-kitab tafsir sebelumnya. adapun kitab-kitab tafsir dahulu hanya menitikberatkan pada pemaknaan terhadap makna linguistik ang terdapat pada ayat. Namun, dalam penafsiran al-Manār tidak lagi hanya memfokuskan pada pemaknaan secara linguistik saja, namun juga melihat keterkaitan makna ayat dengan aspek persoalan yang muncul di zaman sekarang.




















Daftar Pustaka
Ghofur, Saiful Amin. Mozaik Mufassir al-Qur’an dari Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta:Kaukaba, 2013.
Nawawi, Rif’at Syauqi. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian Akidah Dan Ibadat. Jakarta:Paramadina, 2002.
Ridha, Rasyid. Tafsīr al-Manār. Beirut:Dār al-Fikr, tth.
Ṣhalih, Abdul Qādir Muhammad. Al-Tafsīr Wa Al-Mufassirūn Fī Al-‘Asr Al-Ḥadith. Beirut:Dār al-Ma’rifah,2003.
Saifullah, Nuansa Inklusif Dalam Tafsīr Al-Manār. Jakarta:Kementrian Agama, 2012.
Shihab, Quraish. Studi Kritis Tafsir al-Manār. Bandung:Pustaka Hidayah, 1994.


[1]Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufassir al-Qur’an dari Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta:Kaukaba, 2013), 125
[2]Abdul Qādir Muhammad Ṣhalih, Al-Tafsīr Wa Al-Mufassirūn Fī Al-‘Asr Al-Ḥadith, (Beirut:Dār al-Ma’rifah,2003), 302.
[3] Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufassir Al-Qur’an Dari Klasik Hinga Kontemporer, (Yogyakarta:Kaukaba, 2013), 121.
[4] Abdul Qādir Muhammad Ṣhalih, Al-Tafsīr Wa Al-Mufassirūn Fī Al-‘Asr Al-Ḥadith, (Beirut:Dār al-Ma’rifah,2003), 303.
[5] Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufassir Al-Qur’an Dari Klasik Hinga Kontemporer, (Yogyakarta:Kaukaba, 2013), 126.
[6] Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manār, (Bandung:Pustaka Hidayah, 1994), 64.
[7]Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian Akidah Dan Ibadat, (Jakarta:Paramadina, 2002), 109.
[8] Saifullah, Nuansa Inklusif Dalam Tafsīr Al-Manār, (Jakarta:Kementrian Agama, 2012), 42-47.
[9] Rasyid Ridha, Tafsīr al-Manār, (Beirut:Dār al-Fikr, tth), II:143-158.